STRUKTUR TEKS CERAMAH
Ceramah adalah pembicaraan di depan umum yang meliputi penyampaian suatu informasi, pengetahuan, dan sebagainya. Yang memberikan ialah orang-orang yang menguasai di bidangnya dan yang mendengarkan biasanya melibatkan banyak orang. Medianya sanggup eksklusif ataupun melalui masukana komunikasi, ibarat televisi, radio, dan media lainnya.
Selain itu, ada pula yang disebut dengan pidato dan khotbah.
1. Pidato ialah pembicaraan di depan umum yang cenderung bersifat persuasif, yakni meliputi usul ataupun dorongan pada khalayak untuk berbuat sesuatu.
2. Khotbah ialah pembicaaraan di depan umum yang meliputi penyampaian pengetahuan keagamaan atau praktik diberibadah dan ajakan-ajakan untuk memperkuat keimanan.
1. Pidato ialah pembicaraan di depan umum yang cenderung bersifat persuasif, yakni meliputi usul ataupun dorongan pada khalayak untuk berbuat sesuatu.
2. Khotbah ialah pembicaaraan di depan umum yang meliputi penyampaian pengetahuan keagamaan atau praktik diberibadah dan ajakan-ajakan untuk memperkuat keimanan.
Fungsi Teks Ceramah
Ceramah ialah teks yang berfungsi untuk memberikan informasi (edukatif) yang berupa pengetahuan kepada khalayak juga untuk mengajak atau meyakinkan.
Menentukan isi dan Struktur dalam Teks ceramah
Teks ceramah mempunyai bagian-bagian tertentu, yang meliputi kepingan pembuka, isi, dan penutup.
a. Pembuka
Berupa pengenalan isu, masalah, ataupun pandangan pembicara ihwal topik yang akan dibahasnya. Bagian ini sama dengan isi dalam teks eksposisi, yang disebut dengan isu.
b. Isi yang berupa rangkaian argumen pembcara berkaitan dengan penlampauan atau tesis.
Teks ceramah mempunyai bagian-bagian tertentu, yang meliputi kepingan pembuka, isi, dan penutup.
a. Pembuka
Berupa pengenalan isu, masalah, ataupun pandangan pembicara ihwal topik yang akan dibahasnya. Bagian ini sama dengan isi dalam teks eksposisi, yang disebut dengan isu.
b. Isi yang berupa rangkaian argumen pembcara berkaitan dengan penlampauan atau tesis.
Pada kepingan ini dikemukakan pula sejumlah fakta yang memperkuat argumen-argumen pembicara
c. Penutup berupa penegasan kembali atas pernyataan-pernyataan sebelumnya.
c. Penutup berupa penegasan kembali atas pernyataan-pernyataan sebelumnya.
misal Ceramah
Saudara-saudara yang baik hati, suatu dikala saya melihat beberapa orang siswa asyik berjalan di depan sebuah kelas dengan langkahnya yang cukup membuat orang di sekitarnya merasa bising.
Terdengar percakapan di antara mereka yang kira-kira begini, “Punya gua kemarin hilang.” Terdengar pula sahutan salah seorang mereka, “Lho, jikalau punya gua, sama elu kemanain?”
Tak menyangka, salah seorang siswa di samping saya juga memperhatikan percakapan mereka. Ia kemudian nyeletuk, “Gua apa: Gua Selarong atau Gua Jepang?” Beberapa siswa yang mendengarnya tertawa kecil. Di antara mereka ada yang berbisik, “Serasa di Terminal Kampung Rambutan, ye…?”
Peristiwa tersebut menggambarkan bahwa ada dua kelompok siswa yang mempunyai perilaku berbahasa yang tidak sama di sekolah tersebut. Kelompok pertama ialah mereka yang kurang mempunyai kepedulian terhadap penerapan bahasa yang baik dan benar. Hal ini tampak pada ragam bahasa yang mereka gunakan yang berdasarkan sindiran siswa kelompok kedua sebagai ragam bahasa Kampung Rambutan. Bahasanya orang-orang Betawi. Dari komentar-komentarnya, kelompok siswa kedua mempunyai perilaku kritis terhadap kaidah penerapan bahasa kawannya. Mereka mengetahui makna gua yang benar dalam bahasa Indonesia ialah
‘lubang besar pada kaki pegunungan’. melaluiataubersamaini makna tersebut, kata gua seharusnya ditujukan untuk penyebutan nama tempat, seperti Gua Selarong, Gua Jepang, Gua Pamijahan, dan seterusnya; dan bukannya pengganti orang (persona).
Sangat beruntung, sekolah saya itu masih mempunyai kelompok siswa yang peduli terhadap penerapan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Padahal kebanyakan sekolah, penerapan bahasa para siswanya cenderung lebih tidak terkontrol. Yang secara umum dikuasai ialah ragam bahasa pasar atau bahasa gaul. Yang banyak terdengar ialah pilihan kata ibarat elu-gua.
Bapak-bapak dan Ibu-ibu, prasangka baik saya waktu itu bukannya mereka tidak memahami akan perlunya ketertiban berbahasa di lingkungan sekolah. Saya berkeyakinan bahwa keyakinan ihwal “berbahasa Indonesialah dengan baik dan benar” sudah mereka peroleh jauh-jauh sebelumnya, semenjak SLTP atau bahkan semenjak mereka SD. Saya melihat ketidakberesan mereka berbahasa, antara lain, disebabkan oleh kekurangwibawaan bahasa Indonesia itu sendiri di mata mereka.
Ragam bahasa Indonesia ragam baku mereka anggap kurang “asyik” dibandingkan dengan bahasa gaul, lebih-lebih dengan bahasa asing, baik itu dalam pergaulan ataupun dalam dikala
mereka sudah masuk dunia kerja. Tuntutan kehidupan modern sudah membelokkan apresiasi para siswa itu terhadap bahasanya sendiri. Bahasa abnormal berkesan lebih bergengsi. Pelajaran bahasa
Indonesia tak jarang ditanggapi dengan perilaku sinis. Mereka merasa lebih asyik dengan mengikuti pelajaran bahasa Inggris atau mata kuliah lainnya.
Dalam kehidupan masyarakat umum pun kinerja bahasa Indonesia memang menawarkan kondisi yang semakin tidak menggembirakan. Sesudah Badan Bahasa tidak lagi menawarkan
peran aktifnya, bahasa Indonesia menawarkan perkembangan ironis. Bahasa Indonesia dipakai seenaknya sendiri; tidak spesialuntuk oleh kalangan terpelajar, tetapi juga oleh para pejabat dan wakil rakyat.
Seorang pejabat negara berkata dalam sebuah wawancara televisi, “Content undang-undang tersebut nggak begitu, kok. Ada dua item yang harus kita perhatikan di dalamnya.” Pejabat tersebut sepertinya merasa dirinya lebih jago dengan memakai kata content daripada kata isi atau kata item daripada kata bagian atau hal.
Penggunaan bahasa yang berserakan juga banyak dipelopori oleh kalangan pebisnis. Badan usaha, pemilik toko, dan pemasang iklan kian pintar memakai bahasa asing. Seorang pengusaha salon lebih merasa bergaya dengan nama usaspesialuntuk yang berlabel Susi Salon daripada Salon Susi atau pengusaha camilan anggun lebih percaya diri dengan tokonya yang berjulukan Lutfta Cake daripada Toko Kue Lutfta.
Akan terasa guah terdengarnya apabila kemudian PT Jasa Marga ikut-ikutan menamai jalan-jalan di Bandung dan di kota-kota lainnya, misalnya, menjadi Sudirman Jalan, Kartini Jalan, SoekarnoHatta Jalan.
Hadirin yang berbahagia, kalangan terpelajar dengan julukan hebatnya sebagai “tulang punggung negara, keinginan masa depan bangsa” seharusnya tidak larut dengan kebiasaan ibarat itu.
Para siswa justru harus menawarkan kelas tersendiri dalam hal berbahasa.
Intensitas para siswa dalam memahami literatur-literatur ilmiah bergotong-royong ialah masukana efektif dalam mengakrabi ragam bahasa baku. Dari literatur-literatur tersebut mereka sanggup
mencontoh ihwal cara berpikir, berasa, dan berkomunikasi dengan bahasa yang lebih logis dan tertata.
Namun, lain lagi ceritanya jikalau yang dikonsumsi itu berupa majalah hiburan yang penuh gosip. Forum gaulnya berupa komunitas dugem; literatur utamanya koran-koran kuning, akibatnya
ya…, gitu deh…. Ragam bahasa elu-gue, oh-yes… oh-no.... yang sanggup jadi akan lebih banyak mewarnai. (Sumber: E. Kosasih)
Terdengar percakapan di antara mereka yang kira-kira begini, “Punya gua kemarin hilang.” Terdengar pula sahutan salah seorang mereka, “Lho, jikalau punya gua, sama elu kemanain?”
Tak menyangka, salah seorang siswa di samping saya juga memperhatikan percakapan mereka. Ia kemudian nyeletuk, “Gua apa: Gua Selarong atau Gua Jepang?” Beberapa siswa yang mendengarnya tertawa kecil. Di antara mereka ada yang berbisik, “Serasa di Terminal Kampung Rambutan, ye…?”
Peristiwa tersebut menggambarkan bahwa ada dua kelompok siswa yang mempunyai perilaku berbahasa yang tidak sama di sekolah tersebut. Kelompok pertama ialah mereka yang kurang mempunyai kepedulian terhadap penerapan bahasa yang baik dan benar. Hal ini tampak pada ragam bahasa yang mereka gunakan yang berdasarkan sindiran siswa kelompok kedua sebagai ragam bahasa Kampung Rambutan. Bahasanya orang-orang Betawi. Dari komentar-komentarnya, kelompok siswa kedua mempunyai perilaku kritis terhadap kaidah penerapan bahasa kawannya. Mereka mengetahui makna gua yang benar dalam bahasa Indonesia ialah
‘lubang besar pada kaki pegunungan’. melaluiataubersamaini makna tersebut, kata gua seharusnya ditujukan untuk penyebutan nama tempat, seperti Gua Selarong, Gua Jepang, Gua Pamijahan, dan seterusnya; dan bukannya pengganti orang (persona).
Sangat beruntung, sekolah saya itu masih mempunyai kelompok siswa yang peduli terhadap penerapan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Padahal kebanyakan sekolah, penerapan bahasa para siswanya cenderung lebih tidak terkontrol. Yang secara umum dikuasai ialah ragam bahasa pasar atau bahasa gaul. Yang banyak terdengar ialah pilihan kata ibarat elu-gua.
Bapak-bapak dan Ibu-ibu, prasangka baik saya waktu itu bukannya mereka tidak memahami akan perlunya ketertiban berbahasa di lingkungan sekolah. Saya berkeyakinan bahwa keyakinan ihwal “berbahasa Indonesialah dengan baik dan benar” sudah mereka peroleh jauh-jauh sebelumnya, semenjak SLTP atau bahkan semenjak mereka SD. Saya melihat ketidakberesan mereka berbahasa, antara lain, disebabkan oleh kekurangwibawaan bahasa Indonesia itu sendiri di mata mereka.
Ragam bahasa Indonesia ragam baku mereka anggap kurang “asyik” dibandingkan dengan bahasa gaul, lebih-lebih dengan bahasa asing, baik itu dalam pergaulan ataupun dalam dikala
mereka sudah masuk dunia kerja. Tuntutan kehidupan modern sudah membelokkan apresiasi para siswa itu terhadap bahasanya sendiri. Bahasa abnormal berkesan lebih bergengsi. Pelajaran bahasa
Indonesia tak jarang ditanggapi dengan perilaku sinis. Mereka merasa lebih asyik dengan mengikuti pelajaran bahasa Inggris atau mata kuliah lainnya.
Dalam kehidupan masyarakat umum pun kinerja bahasa Indonesia memang menawarkan kondisi yang semakin tidak menggembirakan. Sesudah Badan Bahasa tidak lagi menawarkan
peran aktifnya, bahasa Indonesia menawarkan perkembangan ironis. Bahasa Indonesia dipakai seenaknya sendiri; tidak spesialuntuk oleh kalangan terpelajar, tetapi juga oleh para pejabat dan wakil rakyat.
Seorang pejabat negara berkata dalam sebuah wawancara televisi, “Content undang-undang tersebut nggak begitu, kok. Ada dua item yang harus kita perhatikan di dalamnya.” Pejabat tersebut sepertinya merasa dirinya lebih jago dengan memakai kata content daripada kata isi atau kata item daripada kata bagian atau hal.
Penggunaan bahasa yang berserakan juga banyak dipelopori oleh kalangan pebisnis. Badan usaha, pemilik toko, dan pemasang iklan kian pintar memakai bahasa asing. Seorang pengusaha salon lebih merasa bergaya dengan nama usaspesialuntuk yang berlabel Susi Salon daripada Salon Susi atau pengusaha camilan anggun lebih percaya diri dengan tokonya yang berjulukan Lutfta Cake daripada Toko Kue Lutfta.
Akan terasa guah terdengarnya apabila kemudian PT Jasa Marga ikut-ikutan menamai jalan-jalan di Bandung dan di kota-kota lainnya, misalnya, menjadi Sudirman Jalan, Kartini Jalan, SoekarnoHatta Jalan.
Hadirin yang berbahagia, kalangan terpelajar dengan julukan hebatnya sebagai “tulang punggung negara, keinginan masa depan bangsa” seharusnya tidak larut dengan kebiasaan ibarat itu.
Para siswa justru harus menawarkan kelas tersendiri dalam hal berbahasa.
Intensitas para siswa dalam memahami literatur-literatur ilmiah bergotong-royong ialah masukana efektif dalam mengakrabi ragam bahasa baku. Dari literatur-literatur tersebut mereka sanggup
mencontoh ihwal cara berpikir, berasa, dan berkomunikasi dengan bahasa yang lebih logis dan tertata.
Namun, lain lagi ceritanya jikalau yang dikonsumsi itu berupa majalah hiburan yang penuh gosip. Forum gaulnya berupa komunitas dugem; literatur utamanya koran-koran kuning, akibatnya
ya…, gitu deh…. Ragam bahasa elu-gue, oh-yes… oh-no.... yang sanggup jadi akan lebih banyak mewarnai. (Sumber: E. Kosasih)
Berikut pola analisis struktur untuk teks di atas.
a. Penlampauan
Pemilihan kata-kata oleh masyarakat akhir-akhir cenderung semakin menurun kesantunannya dibandingkan dengan jaman saya doloe dikala kanak-kanak doloe. Hal tersebut tampak pada ungkapan-ungkapan banyak kalangan dalam menyatakan pendapat dan perasaan-perasaannya, ibarat dikala berdemonstrasi ataupun rapat-rapat umum. Kata-kata mereka berangasan (sarkastis), menyerang, dan tentu saja hal itu sangat menggores hati yang menerimanya.
a. Penlampauan
Pemilihan kata-kata oleh masyarakat akhir-akhir cenderung semakin menurun kesantunannya dibandingkan dengan jaman saya doloe dikala kanak-kanak doloe. Hal tersebut tampak pada ungkapan-ungkapan banyak kalangan dalam menyatakan pendapat dan perasaan-perasaannya, ibarat dikala berdemonstrasi ataupun rapat-rapat umum. Kata-kata mereka berangasan (sarkastis), menyerang, dan tentu saja hal itu sangat menggores hati yang menerimanya.
Bagian itu mengenalkan permasalahan utama (tesis), yakni ihwal menurunnya kesantunan berbahasa masyarakat.
b. Isi (Rangkaian Argumen)
Fenomena tersebut menawarkan adanya penurunan standar moral, agama, dan tata nilai yang berlaku dalam masyarakat itu. Ketidaksantunan berkaitan pula dengan rendahnya penghayatan
masyarakat terhadap budayanya alasannya ialah kesantunan berbahasa itu tidak spesialuntuk berkaitan dengan ketepatan dalam pemilikan kata ataupun kalimat. Kesantunan itu berkaitan pula dengan susila pergaulan yang berlaku dalam masyarakat itu.
Teks tersebut ialah salah satu kepingan dari argumen pembicara ihwal menurunnya kesantunan berbahasa masyarakat.
c. Penutup (Penegasan Kembali)
Berbahasa santun seharusnya sudah menjadi suatu tradisi yang dimiliki oleh setiap orang semenjak kecil. Anak perlu dibina dan dididik berbahasa santun. Apabila dibiarkan, tidak tidak mungkin rasa kesantunan itu akan hilang sehingga anak itu kemudian menjadi orang yang arogan, kasar, dan kering dari nilai-nilai etika dan agama. Tentu saja, kondisi itu tidak diperlukan oleh orang bau tanah dan masyarakat manapun.
Bagian tersebut ialah suatu simpulan, sebagai hasil budi budi dari klarifikasi sebelumnya. Hal ini ditandai oleh kata-kata yang berupa masukan-masukan yang disertai pula sejumlah alasan.
BACA JUGA POWERPOINT MATERI PEMBELAJARAN TEKS CERAMAH KLIK materiputihabuabu.blogspot.com/search?q=ppt-struktur-dan-kaidah-kebahasaan-teks_22b. Isi (Rangkaian Argumen)
Fenomena tersebut menawarkan adanya penurunan standar moral, agama, dan tata nilai yang berlaku dalam masyarakat itu. Ketidaksantunan berkaitan pula dengan rendahnya penghayatan
masyarakat terhadap budayanya alasannya ialah kesantunan berbahasa itu tidak spesialuntuk berkaitan dengan ketepatan dalam pemilikan kata ataupun kalimat. Kesantunan itu berkaitan pula dengan susila pergaulan yang berlaku dalam masyarakat itu.
Teks tersebut ialah salah satu kepingan dari argumen pembicara ihwal menurunnya kesantunan berbahasa masyarakat.
c. Penutup (Penegasan Kembali)
Berbahasa santun seharusnya sudah menjadi suatu tradisi yang dimiliki oleh setiap orang semenjak kecil. Anak perlu dibina dan dididik berbahasa santun. Apabila dibiarkan, tidak tidak mungkin rasa kesantunan itu akan hilang sehingga anak itu kemudian menjadi orang yang arogan, kasar, dan kering dari nilai-nilai etika dan agama. Tentu saja, kondisi itu tidak diperlukan oleh orang bau tanah dan masyarakat manapun.
Bagian tersebut ialah suatu simpulan, sebagai hasil budi budi dari klarifikasi sebelumnya. Hal ini ditandai oleh kata-kata yang berupa masukan-masukan yang disertai pula sejumlah alasan.
Tag :
PEMBELAJARAN
0 Komentar untuk "Struktur Teks Ceramah"